KABAR TERBARU DAN TERKINI DI UHOTIMES.COM

HILANGNYA KEYAKINAN DAN GHIRAH MAHASISWA

UHOTIMES.COM -Janganlah menganggap tulisan ini sebagai bahan prolokkan, atau bahan untuk menjustis sebagian dari saudara ku mahasiswa. Marilah kita pandang tulisan ini sebagai bahan evaluasi bersama ataupun referensi bagi sebahgian orang. Ambillah yang baiknya, dari tulisan ini dan sisakn yang buruknya bagi saya si-penulis brosur. 


Setelah melalui berbagai peristiwa penting dalam sejarah panjang negeri ini. Setelah Para pemuda dan pelajar mengikrarkan sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 sampai pada pergerakan 1998 yang berhasil menggulingkan rezim Orde Baru setelah 32 tahun berkuasa. Mahasiswa secara perlahan-lahan mengalami kemunduran dalam eksistensinya sebagai sosok pembawa perubahan. Sebagai pendobrak yang membuat suara-suara rakyat kecil didengar oleh penguasa. Berangsur-angsur, perlahan tapi pasti kita terhegemoni dalam kebesaran nama mahasiswa diatas lembaran sejarah. Seolah kita hanya menjadi penikmat dari keberhasilan para pemuda dan mahasiswa terdahulu. Padahal, toh “setiap orang memiliki massa dan setiap massa memiliki orangnya”.

Diawal tahun Ke-7 pada dekade 2010-an ini, pekik ‘hidup mahasiswa’ semakin menjadi hal yang langkah untuk didengarkan. Sangat jarang kita temukan barisan massa yang berjumlah ratusan sampai ribuan mahasiswa tumpah ruah ke jalan dengan jargon ‘hidup rakyat’. Nyaris tak ada lagi mahasiswa yang bergerak dengan isu-isu strategis baik yang sifatnya kedaerahan maupun nasional. Yang ada hanyalah mahasiswa yang sibuk menipiskan dasar sepatu dan ban kendaraan mereka semata-mata menempuh rute Kamar-Kampus-Kamar. Kalaupun ada yang kduduk berkumpul, pasti pembahasannya tidak begitu berbebot dan bahkan tidak sama sekali.

Bukan karena tak ada lagi organisasi kemahasiswaan dilingkup internal kampus atau tak ada lagi organisasi pengkaderan yang telah banyak berkontribusi dalam mendidik serta membentuk sosok pemimpin di negeri ini. Melainkan kita - mahasiswa - yang mengisi ruang-ruang kampus, telah lupa akan esensi dari dunia kampus itu sendiri. Kita kehilangan keyakinan bahwa kampus adalah tempat dimana kita “bebas” mengeksplor diri kita, membuka seluas-luasnya cakrawala berpikir kita, serta menantang diri kita untuk terus berkreasi sebagai insan cipta. Kita kehilangan ghirah (kecemburuan) ketika ruang-ruang serta jati diri kita sebagai mahasiswa secara perlahan-lahan atau bahkan sekaligus dirampas – lebih dicintai -- oleh “mereka” yang bukan bagian dari mahasiswa.

-- Kehilangan Keyakinan --

‘Suatu Negara dapat berdiri tanpa tank dan meriam. Tetapi suatu bangsa tidak mungkin eksis tanpa keyakinan’. Demikian penggalan perkataan Bung Karno dalam pembelaannya saat sidang Volksraad tahun 1937. Keyakinan adalah sesuatu yang lebih besar dari kepercayaan. Jika kepercayaan hanyalah menerima dengan budi, maka keyakinan adalah menerima dengan akal – kesimbangan pemikiran dan budi --. John Stuart Mill pernah menulis, ‘seseorang dengan keyakinan sama dengan kekuasaan sembilan puluh sembilan orang yang hanya memiliki minat’. Sebegitu fundamentalnya sebuah keyakinan hingga dapat membentuk pribadi yang mampu membunuh rasa takutnya. 

Sebagaimana telah saya tuliskan diatas, bahwa saat ini mahasiswa tengah kehilangan keyakinan mereka tentang esensi dari habitatnya – Kampus --. Kampus mestinya disadari sebagai tempat untuk mengasah nalar kritis generasi muda. Tempat kita – mahasiswa – belajar, tidak hanya terfokus pada disiplin ilmu yang kita geluti. Melainkan mengobservasi segala hal dimulai interaksi sosial kemasayarakatan, bahkan samapai pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang begitu dinamis yang selalu bergerak dan beruba-ubah setiap detiknya. Kampus adalah laboratorium raksasa yang begitu kompleks. Sangatlah disayangkan jika ketika berada didalamnya hanyalah semata-mata untuk mengejar gelar sarjana dengan IPK mentereng, sementara disisi yang lain kita tidak menyadari bahwa sebenarnya bangsa kita sedang dijajah dengan gaya penjajahan modern. 

Dengan berdalih pada Era - Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) saat ini, Kita disugesti dengan kompetisi dunia kerja yang sebenarnya hanyalah bagian paling terluar dari kompetisi global. Didalam lingkungan kampus dibisikkan doktrin-doktrin sesat menyesatkan untuk merubah cara pandang kita terhadap menara kesuksesan. Sukses yang ditransformasikan kedalam pemikiran generasi muda adalah sesuatu yang semata-mata diukur dengan kerja dan upah – dipersempit maknanya--. Hal ini memicu berkembang sebuah paradigma yang semakin mengikis habis nilai-nilai kebenaran dari kemerdekaan berfikir mahasiswa dalam lingkungan perguruan tinggi. Al-hasil semakin sedikit mahasiswa yang mau berpikir tentang kondisi rakyat jelata, kondisi daerah, serta bangsa dan negara. Semakin sedikit mahasiswa yang meyakini kampus sebagai kawah candradimuka, dimana ketika kita telah berada didalamnya mestilah kita menceburkan atau membenamkan diri sedalam-dalamnya lalu kemudian keluar sebagai generasi bangsa yang cerdas secara komprehensif. Sebab sejatinya pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan. Itulah titik puncaknya. Maka untuk mempersiapkan diri menuju ketitik tersebut, dikampuslah kita belajar ‘segalanya’.
-- Kehilangan Ghirah –

Ghirah berasal dari bahasa arab yang berarti cemburu. Dalam KBBI cemburu diartikan sebagai perasaan tidak senang karena sesuatu yang kita miliki diambil oleh orang lain, atau persaan tidak senang melihat orang lain beruntung atau lebih mampu dari kita. Prof. Dr. Hamka didalam karyanya ‘Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam’ membagi ghirah menjadi dua macam yakni cemburu karena perempuan dan cemburu karena agama. Keduanya merupakan simbol masih hidupnya jiwa seseorang. Tanpa membantah nilai kebenaran yang dituliskan oleh Buya Hamka dalam bukunya tersebut, maka dalam tulisan ini saya meletakkan sudut pandang ghirah dalam eksistensi mahasiswa kekinian. Dan saya rasa tidak ada salahnya.

Ketika seorang mahasiswa mengajak kawan-kawan mahasiswa yang lain untuk bergerak menyuarakan tentang kebijakan birokrasi kampus yang dianggap bertentangan dan bahkan merampas hak-hak mahasiswa, maka sesungguhnya terangkatlah derajat mahasiswa tersebut beserta kawan-kawan seperjuangannya. Hiduplah dia punya jiwa. Akan tetapi jika seorang pimpinan organisasi hanya diam – seolah tidak terjadi apa-apa – ketika ada kebijakan birokrasi yang merampas hak-hak mahasiswa, maka sesungguhnya dia tidak lebih dari sesosok mayat hidup. Hanya memiliki jasad tetapi jiwanya telah mati. Seperti itulah ghirah jika diletakkan pada dunia mahasiswa.
Dalam eksistensi kita – mahasiswa --, sebagaimana telah tercatatkan dalam lebaran sejarah. Bahwa mahasiswa tidak sedikit memberikan sumbangsi atas terjadinya perubahan tatanan bangsa dan negara ini -- terlepas dari baik-buruknya oleh berbagai sudut pandang --. Sudah barang tetu hal tersebut melekat pada setiap diri mahasiswa. Tidak dilihat dari warna kulitnya, darimana asalnya di negara ini, dan apa warna almamaternya. Yang berlabel mahasiswa maka berarti menyadang gelar agen perubahan. Kita dikenal sebagai barisan yang menyuarakan hak-hak rakyat dengan nilai independensi yang tidak terukur. Inilah jati diri. Dan mestinya seiring bergesernya waktu serta paradigma bangsa dan negara, kecintaan kita terhadap jati diri mahasiswa tersebut semakin besar. 

Akan tetapi miris ketika kenyataan menampar setiap wajah mahasiswa hari ini. Organisasi mahasiswa hanya berorientasi event organizer dan tidak tertarik untuk melakukan aksi massa dengan mengangkat isu-isu strategis. Bersyukurlah jika alasannya hanya tidak ingin menggelar aksi massa, tapi bagaimana jika tidak mampu mengemas informasi menjadi sebuah isu. Haruskah kita katakan dengan dada yang membusung bahwa seperti inilah mahasiswa yang ada dizaman ini, dimana melalui alat selebar telapak tangan kita sudah dapat mengetahui semua info terbaru yang tersebar diseluruh penjuru dunia. Tidak, ini bukanlah kemajuan melainkan degradasi pemikiran yang sangat dramatis. Kita seolah kehilangan arah. Kita tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk ghirah terhadap apa yang telah dilakukan oleh mereka yang berstatus mahasiswa sebelum kita saat ini. Mereka yang telah terlibat sebagai pelaku sejarah sekalipun masih berstatus mahasiswa dengan segala keterbatasan fasilats – tidak seperti saat ini --.
Kita mestinya ghirah dengan para buruh yang masih menghargai aksi massa sebagai jalan perjuangan untuk memperoleh hak-hak mereka di negara demokrasi ini. Ghirah dengan para pedagang asongan yang berbaris menuntut hak-hak mereka di Kator dewan atau walikota misalnya. Ghirah dengan para petani yang tumpah riuh dijalan meninggalkan sawah dan ladang mereka saat hari tani, hanya untuk menolak impor dan harga pupuk serta bibit yang mahal. Bukankah demostrasi itu adalah bagian dari identitas kita – mahasiswa --? Namun jika tak ada lagi ghirah didalam hati kita, maka berarti mahasiswa tak lagi punya jiwa.
Bogor, 25 November 2016

H A S A N
BAGIKAN

UHOTIMES.COM ADALAH MEDIA ONLINE INFORMASI KAMPUS UHO Di Kelola secara independen oleh LPM UHOFISIPers Yang Berada Di Fakultas FISIP UHO! Semua Artikel Publikasikan UHOFISIPers Redaksi

UHOTIMES.COM satu-satunya Portal Online Anak Fisip UHO
    Ayo Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar

BACA JUGA BERITA YANG PALING BANYAK DI BACA DI UHOFISIPers.™